Penyelenggaraan Festival Budaya Hame Hame, Refleksi Putri Wakambangura, Kata Tokoh Adat dan Pemdes 

Prosesi adat festival budaya hame hame desa wakambangura, memakai baju batik La Kolowa. Foto : Muhammad Shabuur
Prosesi adat festival budaya hame hame desa wakambangura, memakai baju batik La Kolowa. Foto : Muhammad Shabuur

Tnews, BUTON TENGAH – Festival Budaya hame hame Desa Wakambangura merupakan prosesi refleksi atau memikirkan, mengenang kembali, kejadian seorang putri bernama wakambangura selain juga merupakan prosesi bersyukur atas limpahan karunia dan rezeki setiap tahun pada musim barat atau musim panen yang diberikan oleh sang pencipta, Allah SWT.

Salah satu tokoh adat yang juga turunan putri wakambangura, La Kolowa menyampaikan masyarakat wakambangura percaya dan meyakini kehadiran sosok putri wakambangura sebagai penjaga dan pelindung desa, hal inilah sehingga festival budaya hame hame atau ramai ramai selalu dilaksanakan dan tidak luput setiap tahun.

Bacaan Lainnya

“masyarakat desa percaya akan ada-ada saja ujian dan cobaan seperti bencana, kadang angin kencang, kadang sakit terjadi di desa jika prosesi adat ini tidak terselenggara. giat dilaksanakan sejak zaman nabi” kata La Kolowa dikonfirmasi dilokasi kegiatan festival (weta) selasa (4/2/2024).

La Kolowa menambahkan pada prosesi festival budaya hame hame diiringi pukulan gendang, tarian manari, tarian linda, seni manca dan seni mangaru yang menandakan masyarakat wakambangura merayakan hame hame dan bersyukur.

“masyarakat yang melintasi laut didepan tanjung weta wakambangura dari daerah lain seperti suku Bugis dan Bajo kebanyakan mengetahui dan menyebutnya lokasi dilaut ini adalah sangia atau (tempat keramat)” ungkapnya.

Kepala Desa Wakambangura, M. Maiddin. Foto: Muhammad Shabuur
Kepala Desa Wakambangura, M. Maiddin. Foto: Muhammad Shabuur

Sementara itu Kepala Desa Wakambangura, M. Maiddin dikonfirmasi ditempat terselenggaranya acara menyampaikan bahwa pemerintah desa wakambangura mendukung dan selalu memberi suport kegiatan festival budaya hame hame.

“kami membantu semampu kami dan kegiatan ini yang awalnya tidak begitu didukung pemerintah desa alhamdulillah saat kami menjabat banyak masukan dan saran untuk selalu dilestarikanya festival budaya hame hame di wakambangura ini selalu semarak” kata Maiddin.

Kepala desa yang terpilih pada pilkades serentak tahun 2019 ini tidak lupa berharap kepada pemerintah daerah kabupaten buton tengah nanti juga mendukung setiap event atau kekayaan budaya di setiap desa, kelurahan atau kecamatan di Buton Tengah.

“giat event festival budaya hame hame desa wakambangura ini belum masuk kalender wisata kabupaten buton tengah, kami berharap kedepan apalagi kepada bupati buton tengah yang akan dilantik nanti termasuk dinas pariwisata untuk memasukkan festival budaya hame hame ini di kalender wisata” harap Maiddin.

Adapun alkisah festival budaya hame hame desa wakambangura adalah sebagai berikut:

Pada zaman itu hiduplah pasangan suami-istri La Ure Bungke dan Wa Paitohu.

Awalnya mereka melakukan pertapaan di beberapa penjuru tanjung, yaitu pertama tanjung dua pohon, kedua tanjung kurumawu, ketiga tanjung weta dan keempat di tanjung labobo.

Setelah selesai proses pertapaan mereka di empat tanjung tersebut, mereka kembali ke tanjung weta untuk beristrahat dan bermalam disana. Tujuan pertapaan mereka adalah ingin memperoleh keturunan, saat itu mereka belum mempunyai keturunan, sementara usia mereka semakin hari semakin tua.

Beberapa hari kemudian istri La Ure Bungke pergi mencari kerang di laut. Wa Paitohu secara tiba-tiba mendengar tangisan seorang bayi perempuan di semak-semak pinggir pantai.

Wa Paitohu segera mencari sumber suara dan betapa kagetnya ia menemukan sesosok bayi yang baru lahir yang masih merah berdarah dengan tali pusat (plasenta) yang belum di putuskan di bungkus dengan kain yang berwarna merah tua, perempuan itu menghampiri bayi tersebut, dan mencoba mencari ibu anak tersebut.

Setelah memeriksa disekelilingnya, Wa Paitohu tak melihat seorang manusiapun, maka diambillah bayi tersebut dengan niat dijadikan seorang anak.

Di peliharalah anak perempuan tersebut oleh suami-istri tersebut, La Ure Bungke dan Wa Paitohu hingga dewasa dan di beri nama Putri Wakambangura.

Putri wakambangura tumbuh dewasa dan menjadi seorang bunga desa yang cantik jelita. karena kecantikanya putri wakambangura di sukai banyak laki-laki dari seluruh penjuru desa. Hingga suatu saat datanglah seorang pemuda tampan yang Bernama La Raja Nsulema yang disebut pangeran laut (La Ode No Pasi).

La Raja Nsulema jatuh cinta pada putri wakambangura dan akibat dari besarnya rasa sayangnya pada putri wakambangura muncullah niatan sucinya menemui orangtua angkat putri wakambangura yaitu La Ure Bungke dan Wa Paitohu, niatnya tak lain semata-mata ingin mempersunting putri wakambangura.

Namun apa hendak dikata, setelah bertemu orangtua putri wakambangura, La Raja Nsulema ditolak, mereka tidak setuju dengan niatan La Raja Nsulema untuk menikahi anak semata wayang yang mereka temukan sejak masih bayi karena berbagai macam alasan.

Beberapa hari kemudian karena keseriusan dan rasa sayangnya pada putri wakambangura, La Raja Nsulema tidak menyerah dan ia berniat mendatangi orang tua putri wakambangura kembali. Saat kedatangan yang kedua kalinya orang tua putri wakambangura tidak berada dirumah. saat itulah La Raja Nsulema tidak memiliki pilihan lain selain membawa putri wakambangura ke laut dan untuk dijadikan permaisurinya.

Putri wakambangura dinyatakan hilang dan tidak diketahui lagi keberadaanya sejak di bawa oleh La Raja Nsulema ke laut hingga sekarang. orang tua putri wakambangura merasa sedih dan sangat kehilangan putri yang sangat mereka sayangi. Oleh karena itu mereka selalu mengadakan upacara memperingati kepergian putri semata wayang mereka tersebut. Termasuk awal-mula penyelenggaraan festival budaya hame hame hingga saat ini (Adv).

Penulis : Muhammad Shabuur

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *